Rabu, 02 Maret 2016

HUKUM BERMADZHAB DALAM ISLAM

1


HUKUM BERMADZHAB DALAM ISLAM [1]
Oleh : Ace Faturrahman

I.     Pendahuluan
Madzhab yang umumnya diartikan sebagai sebuah aliran atau ajaran merupakan sebuah realita sejarah yang tidak mungkin dihindari ataupun dihilangkan, karena pengaruhnya kita rasakan hingga sekarang. Madzhab dalam literatur Islam dibagi menjadi dua, madzhab dalam aqidah dan madzhab dalam fikih, madzhab dalam aqidah adalah madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah, dalam ranah aqidah umat Islam semuanya harus bermadzhab yang sesuai dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah, maka setiap yang menyelisihi madzhab ini dikatakan sesat. Adapun madzhab dalam fikih berbeda dengan madzhab dalam aqidah, yang sering diistilahkan dengan perbedaan di dalam masalah cabang (furu’), maka madzhab dalam fikih jauh lebih mudah dan lebih bisa ditoleransi perbedaanya, oleh karenanya, perlu kajian yang mendalam mengenai hal ini  agar umat Islam tidak terpecah belah hanya karena masalah furu’iyah sehingga kaum muslimin bisa mendudukkannya secara proporsional.
Bagi seorang muslim diharuskan menjalankan syariat Islam yang berpedoman dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan juga sesuai dengan pemahaman salafush shalih. Dalam menjalankan ibadah pada asalnya setiap muslim harus mengambil hukum – hukum dari kedua sumber  utama syariat yang menjadi landasan yang wajib ditaati dan diamalkan.namun kenyataannya realita membuktikan bahwa tidak semua umat Islam mampu mengeluarkan hukum – hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ternyata hanya segelintir orang yang memiliki kemampuan dan kelayakan melakukannya, seperti imam – imam madzhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).
 Mengingat karena hanya orang – orang pilihanlah yang sudah memiliki kualifikasi sampai kepada level mujtahid yang bisa meng-istinbath-kan sebuah hukum syar’i. tentunya bagi yang bukan mujtahid tidak ada pilihan lain selain mengambil hukum – hukum yang telah disimpulkan orang para mujtahid atau harus mengikuti imam mujtahid yang biasa disebut dengan bermadzhab.
Bermadzhab memang merupakan sebuah jalan untuk bisa memahami nash-nash syar’i baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, karena tidak semua orang bisa menginterpretasikan dalil-dalil yang ada dan mengkonklusikan (istimbath) sebuah hukum, hanya orang – orang yang memiliki kemampunan berijtihad  atau menggali sendiri hukum dari Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya yang mampu untuk menyimpulkan sebuah hukum.
Dalam sejarah Islam, madzhab fikih sebenarnya tidak hanya empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Rahimahumullah)  tetapi banyak mujtahid yang lainnya bahkan dari segi keilmuanpun sebenarnya tidak kurang,  ada Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad dan masih banyak tokoh – tokoh mujtahid lainnya, akan tetapi sejarah kemudian menunjukkan – tentu saja dengan kehendak Allah Ta’ala – bahwa pemahaman dan ajaran yang berkembang adalah yang disampaikan dan diajarkan oleh empat imam yang terkenal hingga sekarang, yang lembat laun dikenal sebagai madzhab yang empat (Al-Madzhabiul Arba’ah).[2]
Dari realita akan banyak madzhab dalam fikih, timbul polemik di tengah umat, mereka dihadapkan dengan dua kubu besar yang saling bertentangan, satu pihak mengatakan wajib bermadzhab bahkan sampai kepada fanatik madzhab tertentu, di lain pihak yang begitu ektrim dengan menolak madzhab, mereka menghasung gerakan anti madzhab dengan alasan kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan menafikan madzhab sebagai sarana untuk memahami nash – nash syar’i.
Berpijak dari fakta itulah, penulis terdorong untuk menelaah kembali pembahasan mengenai hukum bermadzhab, dan bagaimana cara menyikapinya, karena sikap yang keliru dalam permasalahan ini akan menimbulkan kesalahan yang fatal. Wallahul musta’an.

II.      Definisi Madzhab
Madzhab (مذهب) secara bahasa adalah jalan yang ditempuh atau yang dilewati. Madzhab juga diartikan dengan sesuatu yang dituju manusia, baik yang bersifat materi atau non materi.[3]   Kata madzhab merupakan pecahan kata dari tiga huruf dza, ha, ba. Dari tiga huruf itulah terbentuk kata “ dzahaba- yadzhabu-dzahaban” yang umumnya diartikan dengan pergi atau berlalu. dan kata madzhab adalah sebuah nama tempat atau nama waktu.[4]
Namun selain itu dapat juga berarti : Berpendapat, jika seseorang mengambil pendapat orang lain, dikatakan :
ذَهَبَ إِلَى قَوْلِ فُلَانٍ
Dia berpendapat dengan pendapat si fulan.[5]
Dari makna inilah, kata madzhab lebih mendekati maknanya, yang secara bahasa umumnya diartikan dengan istilah aliran, doktrin, atau ajaran. Bahkan kata madzhab itu sendiri sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.[6] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa arti dari madzhab adalah haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’i). [7]
Menurut istilah madzhab adalah jalan atau cara yang telah digariskan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik dalam masalah kayakinan, prilaku, hukum, dan lainnya.[8]
Dijelaskan dalam al-Mu’jam al-Wasith yang dimaksud  madzhab menurut para ulama adalah kumpulan pandangan dan  teori ilmiah serta filsafat yang satu sama lain berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan yang erat.[9]
Dengan demikian yang dimaksud madzhab fikih adalah metode yang ditempuh oleh seorang ahli fikih (ulama) yang memiliki derajat mujtahid, di mana dia memiliki ciri khas tersendiri di kalangan ahli fikih dalam menentukan sejumlah hukum-hukum dalam bidang furu’ (cabang agama).[10]
Sedangkan untuk pengertian bermadzhab (التمذهب) adalah iltizamnya seseorang (bukan orang awam ) dengan  madzhab mujtahid tertentu  dalam  perkara ushul dan furu’ atau salah satu dari keduannya, atau dengan menisbahkan madzhab kepadanya.[11]


III.   Sejarah Terbentuknya Madzhab
Dalam sejarahnya, fikih mengalami fase pertumbuhan, agar membantu kita dalam memahami terbentuknya madzhab dalam fikih :
Fase pertama : fase penetapan syari’at (Marhalah Tasyri’), fase ini dimulai dari diutusnya Rasulullah menjadi nabi sampai dengan wafatnya Rasulullah di bulan Rabiul awal pada tahun 11 hijrah.[12] Fase pembentukan syari’at juga masih tetap berlaku pada masa khulafaurrasyidin sesudah wafat Rasulullah, karena mereka juga mendapat legalitas (pengesahan) dari Rasulullah untuk diikuti segala keputusannya, hal ini bukan berarti mereka menetapkan syari’at yang tidak pernah Allah tetapkan.[13]
Fase kedua : fase peletakan dasar fikih (Marhalah Ta’sis li al-Fiqh), tahun 41 H – 132 H. setelah masa khulafaurrasyidin datanglah masa sahabat yunior dan tabi’in  senior, fase ini setelah Muawiyah berhasil menyatukan negeri – negeri kaum muslimin seluruhnya. Ditandai dengan  Al-Hasan bin Ali menyerahkan urusan kaum muslimin kepada Muawiyah di tahun 41 H, yang dinamakan dengan amm al-jamaah,[14] mereka (sahabat) kemudian mengajarkan kepada para tabi’in dari generasi awal yang kemudian menjadi tokoh – tokoh terkenal di kalangan tabi’in (Kibaruttabi’in), fase ini kekuasaan Islam semakin luas, namun demikian kaum muslimin saat itu tidak kekurangan ulama yang terdiri dari kalangan tabi’in yang telah berguru dari para sahabat, sehingga tidak ada satupun kota yang dikuasai Islam waktu itu kecuali padanya terdapat mufti dan para fuqaha yang mengajarkan agama dan memberikan fatwa – fatwa tentang agama Islam.[15]
Yang menarik dari fase ini adalah adanya polarisasi atau corak dan pendekatan dalam penetapan hukum yang pada akhirnya akan berpengaruh pula pada generasi berikutnya, maka dikenallah pada fase ini dua aliran yang memiliki karekteristiknya masing – masing. Aliran pertama dikenal sebagai “Madrasah ahlu hadits[16] dari madrasah ini lahir tiga madzhab yang terkenal ( Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali), sedangkan aliran yang kedua dikenal sebagai “ madrasah ahlu ra’yi [17] madrasah ini melahirkan  ulama dari kalangan tabi’in, diantaranya : Alqamah, an-Nakha’i, Syuraih bin al-Harits al-Kindi, Sa’id bin Jubair, Hammad bin Abi Salman dll. Dan kemudian dari madrasah ini nantinya muncul pendiri madzhab Hanafi.[18]
Fase ketiga : fase kematangan dan kesempurnaan (Marhalah an-Nuhd wa al-Kamal), atau dikenal dengan masa kecemerlangan fikih, 132 – 350 H. fase ini hasil dari proses fase – fase sebelumnya mengkristal dan mengalami puncaknya, banyak faktor yang menyebabkan lahirnya fase cemerlang ini yaitu :
1.    Lahirnya para mujtahid termasuk diantaranya imam madzhab yang empat (A’immah al-Madzhahib al-Arba’ah)[19]
Sebenarnya madzhab lahir dari pergulatan yang intens seorang ulama mujtahid yang selalu berinteraksi dengan sumber – sumber hukum Islam,[20] dari intensitas yang tinggi itu lahirlah pengikut masing –masing mujtahid tersebut yang berawal dari murid – murid yang berguru langsung kepadanya.[21]maka lama – kelamaan terjadilah komunitas dari masing – masing pengikut setiap syaikh hingga akhirnya terjadilah polarisasi (corak) di antara mereka, lalu sebagai identitas disebutlah bahwa pengikut syaikh ini adalah bermadzhab ini , dan syaikh itu bermadzhab itu, kemudian disusun lagi kitab – kitab khusus untuk menguatkan, sehingga tidaklah berlebihan kalau dikatakan murid – muridnyalah yang sebenarnya menjadikan upaya dan kesungguhan para mujtahid tersebut lambat laun mengkristal menjadi sebuah madzhab.[22]
2.    Perhatian yang besar dari para khalifah Bani Abbasiyah terhadap kajian fikih dan para fuqahanya.
3.    Maraknya pembukuan dari berbagai disiplin ilmu
4.    Banyaknya terjadi adu argumentasi (Munazharaat)
Fase keempat : masa kejumudan dan fanatisme madzhab (Marhalah Jumuud wa Ta’ashub Madzhabi).[23]

IV.   Sebab Terjadinya Perbedaan Madzhab
Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu menjelaskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di antara ulama,  yaitu :
1.    Perbedaan terhadap makna lafadz-lafadz arab
terkadang nash-nash syar’i ada yang  bermakna mujmal (umum), musytarak (kata yang memiliki banyak makna), terkadang ada yang bermakna haqiqiy dan majaziy, dan perbedaan-perbedaan yang menyangkut bahasa yang memberikan peluang terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama.
2.    Faktor-faktor yang menyangkut periwayatan hadits
Sebagian besar perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama adalah adanya hadits yang diperselisihkan keshahihannya, sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini shahih, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa hadits ini dhaif, jika para ulama masih memperselisihkan akan keshahihannya hadits  tersebut merupakan celah yang menjadikan terjadi perbedaan karena akan berbeda pula dalam menyimpulkan hukum terkait dengan hadits yang diperselisihkan akan keshahihannya.
3.    Perbedaan sumber hukum yang dijadikan sandaran dalam menyimpulkan sebuah hukum syar’i, seperti istihsan, mashlahah mursalah, istishhab, sadd dzari’ah, perkataan sahabat Madinah  yang masih diperselisihkan apakah bisa dijadikan dalil atau tidak.
4.    Faktor-faktor yang menyangkut kaidah-kaidah ushuliyah, seperti kaidah al-amm al-makhsush bukan hujjah, mafhum bukan hujjah, nasikh, dan mansukh dan lain-lain.
5.    Berijtihad dengan qiyas
6.    Adanya Ta’arudh (saling berlawanan) dan tarjih (merajihkan) di antara dalil-dalil.[24]

V.      Hukum Bermadzhab
Di sini terjadi perselisihan pendangan di kalangan umat Islam, yang terbagi kepada dua golongan besar.
A.  Tidak wajib : sebagian ulama Ushul berpendapat bahwa bermadzhab itu tidak wajib. Umat Islam wajib mengikuti apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ulama yang berpendapat demikian adalah Khujandi, Nashiruddin al-Albani dan Ibnu Hazm. Bagi golongan ini, tidak wajib mengamalkan pendapat madzhab tertentu dalam setiap masalah.[25] Ia boleh berpindah dan mengamalkan pendapat dari madzhab lain.[26] Iltizam terhadap satu madzhab saja merupakan kesulitan dan kesempitan, padahal adanya beberapa madzhab merupakan rahmat, nikmat dan karunia.[27] Muhammad Sulthan al-Ma’shumi al-Khujandi al-Makki, beliau mengatakan tidak wajib bagi seorang muslim untuk melazimi salah satu madzhab dari empat madzhab, dan barangsiapa yang melazimi salah satu  madzhab dalam setiap permasalahan-permasalahannya maka ia adalah orang yang fanatik salah, orang yang bertaklid buta, dan yang memecah belah agama sehingga terjadinya golongan-golongan dan Allah telah melarang dari berpecah belah dalam agama.[28]

B.  Wajib : Golongan ini mengatakan bermadzhab itu harus bahkan bagi orang awam hukumnya wajib,[29] Al-Amidi mengatakan bahwa orang awam dan orang yang tidak memiliki keahlian berijtihad, walaupun dapat menghasilkan sebagian ilmu yang diakui (mu’tabar) dalam berijtihad, ia wajib mengikuti pendapat para mujtahid dan berpegang dengan fatwa-fatwanya, demikian menurut ahli tahqiq dan ulama ushul.[30] Khudhari Bek pula berpandangan wajib atas orang awam meminta fatwa dan mengikuti para ulama.[31]
mayoritas ulama ushul berpendapat bahwa bermadzhab bagi orang awam itu harus, bahkan bagi orang awam yang benar-benar murni, bermadzhab itu wajib. Hanya saja mereka berbeda pendapat, apakah mengikuti madzhab itu dalam arti kata taqlid [32] atau ittiba.[33] keduanya memberikan kesimpulan yang sama yaitu bermadzhab, mereka juga tidak membedakan antara orang awam yang memang tidak faham tentang persoalan hukum dengan orang yang berpengetahuan tetapi belum sampai ke tahap mujtahid. Kedua golongan ini dianggap awam, dan bagi orang awam kewajiban mereka adalah bertanya kepada ahlu ilmi yaitu mujtahid, jika ia bertanya atau mengikuti seorang mujtahid maka ia disebut bermadzhab.[34]       

Dari kenyataan yang ada antara kedua golongan, nampaknya sangat sulit untuk mengkompromikan keduanya namun ada titik temu antara kedua golongan ini yaitu mereka bersepakat tentang keharusan mengikuti pendapat atau fatwa para imam madzhab.

C.    Berpegang Pada Satu Madzhab
Wahbah az-Zuhaili membagi pandangan ulama ushul fikih dalam masalah ini       menjadi tiga :
           Pendapat pertama mengatakan bahwa wajib melazimi madzhab imam tertentu, karena ia berkeyakinan bahwa itu adalah yang benar, dan wajib baginya beramal dengan apa yang ia yakini.
           Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib bertaklid dengan madzhab imam tertentu dalam setiap permasalahan dan peristiwa yang dihadapi. Bahkan ia boleh bertaklid kepada mujtahid mana pun yang ia kehendaki, walaupun ia beriltizam dengan madzhab tertentu seperti Abu Hanifah, Imam Syafi’i atau yang lainnya, tidak ada kewajiban untuk terus menerus mengikutinya, bahkan membolehkan baginya untuk berpindah dari madzhabnya ke madzhab yang lain, karena tidak ada kewajiban kecuali mengikuti apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan untuk bermadzhab dengan madzhab seseorang dari para imam, Allah hanya mewajibkan untuk mengikuti ulama dan tidak mengkhususkan dengan satu imam saja tanpa imam yang lain, sebagaimana firman Allah :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون                                                        
“…Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”
 (Q.S. Al – Anbiya : 7).”
Demikian juga orang yang meminta fatwa di zaman para sahabat dan tabi’in mereka tidak melazimi madzhab tertentu, tapi mereka bertanya  kepada orang yang bersedia menjawab tanpa terikat dengan satu orang saja tidak dengan yang lain, dan ini adalah ijma mereka atas ketidakwajiban bertaklid dengan seorang imam, atau mengikuti madzhab tertentu dalam setiap permasalahan, iltizam dengan satu madzhab saja merupakan kesulitan dan kesempitan, padahal adanya beberapa madzhab merupakan nikmat, karunia, dan rahmat bagi umat, Pendapat yang kedua adalah pendapat yang rajih dikalangan ulama ushul fikih.
          pendapat ketiga adalah pendapat imam Al-Amidi, Al-Kamal bin al-Hamam memperinci masalah ini sebagai berikut : bahwa amalan seseorang dengan melazimi sebagian permasalahannya dalam madzhab tertentu, maka tidak boleh baginya bertaklid kepada orang lain dalam masalah tersebut, jika pada sebagian tertentu ia tidak beramal dengan madzhab yang dianutnya maka boleh mengikuti madzhab yang lain, karena dalam syari’at tidak ada kewajiban mengikuti madzhab yang diiltizaminya, hanyasanya syari’at mewajibkan mengikuti ulama tanpa mengkhususkan orang alim tertentu.[35]

VI.                                       Golongan yang menolak madzhab (Allamadzhabiyah)
Terdapat sebagian kelompok yang kononnya terlalu progresif dalam ilmu agama yang berpendapat bahwa masyarakat awam pada hari ini tidak perlu mengikuti madzhab dan ulama manapun, yang perlu diikuti adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah.[36]
Siapa pun yang mengikuti madzhab termasuk pelaku bid’ah mungkar, bahkan ada yang lebih dangkal dengan menyatakan mereka sesat dan kafir.[37] Apabila kenyataan itu keluar dari mulut seseorang, maka terbukti sekali kedangkalan mereka dalam memahami pembahasan ulama mu’tabar, mereka membayangkan ulama madzhab terdahulu mengeluarkan fatwa tanpa sandaran atau serampangan terhadap nash Al-Qur’an dan as-Sunnah.[38]
Pemahaman anti madzhab ini sangat berbahaya, ia akan tergelincir dalam pemahaman yang salah yang disebabkan oleh keangkuhan hati yang egois dalam menerima suatu perkara yang haq, dan akan terjadi pengamalan suatu hukum yang sesuai dengan hawa nafsunya dengan mengambil yang enak – enak saja. Tentu akan terjadi kesalahpahaman dalam memahami nash-nash syar’i.

VII.                                    Larangan Fanatik Madzhab dan Taklid Buta
            Sejarah mencatat fikih mengalami beberapa fase pertumbuhan, dimulai sejak diutusnya Rasulullah untuk membawa risalah Islam, kemudian fikih mengalami masa kematangan dan kesempurnaan atau yang dikenal juga dengan masa kecemerlangan fikih sampai kepada fase kejumudan dan fanatisme madzhab yang sampai sekarang pengaruhnya masih dirasakan.
Fenomena fanatisme madzhab sangat nyata dan tak bisa dielakkan karena kecenderungan pengikut madzhab tertentu adalah fanatik terhadap madzhab yang diikutinya, membela mati-matian, mencari pembenaran terhadap madzhabnya, bahkan menganggap madzhabnya lah yang paling benar dan yang lain salah, dan fenomena fanatisme inilah yang bisa berpotensi memecah belah persatuan umat.
Fanatisme madzhab adalah istilah yang diberikan kepada sikap yang hanya mengakui madzhabnya sebagai landasan dalam beragama dan menolak pendapat lain walaupun didukung oleh dalil yang kuat.[39]
Berpedoman dengan Satu madzhab dan kemudian menolak mentah-mentah pendapat di luar madzhabnya yang jelas – jelas didukung oleh dalil-dalil yang kuat yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, di samping hal tersebut merupakan sikap yang tidak diajarkan dalam agama Islam, bertentangan dengan sunnah Rasulullah, para sahabatnya dan salafush shalih, hal tersebut juga memberikan dampak negatif yang tidak sedikit, baik bagi pelakunya maupun umat Islam secara umum.[40]
Dampak negatif bagi pelakunya – diakui atau tidak – akan menjadikan pendapat – pendapat madzhab yang dianutnya lebih diagungkan daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga ia menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya, ia akan mementahkan dalil yang shahih karena bertentangan dengan madzhabnya, berpegang dengan argumen yang rapuh karena berpaling dari argumen yang kuat, demi kepentingan madzhabnya ia rela merubah nash yang benar, dalam rangka menjunjung madzhabnya ia pun rela memalsukan dalil dan juga bisa jadi ia akan mempermainkan dalil demi membela madzhabnya. 
Bagi umat Islam secara umum tidak diragukan lagi bahwa dampak paling nampak dari sikap  fanatisme madzhab terjadinya perpecahan umat, menimbulkan api perselisihan dan permusuhan, persatuan umat terasa mustahil terwujud bila penyakit fanatik madzhab masih ada pada tubuh umat.
Syeikh Muhammad Ied al-Abbasi dalam kitab Bid’atu at-Ta’asshub al-Madzhabi beliau mengatakan : Kami tidak menentang kajian fikih madzhab pada masa sekarang, dengan syarat yaitu tanpa adanya ta’asshub (fanatisme) madzhab, karena ta’asshub madzhablah yang tidak kami sukai dan kami perangi.[41]  

VIII.  Masalah Bermadzhab
Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan manusia, tak terkecuali dalam perkara-perkara dien, dan lebih khusus lagi dalam ranah fikih yang notabene bersifat ijtihadiyah, perbedaan ini merupakan sebuah rahmat dan kemudahan dari Allah bagi umat Islam.
Tentunya hal yang tak kalah pentingnya untuk dipahami dalam masalah ini adalah sikap proporsional terhadap perbedaan yang terjadi, yaitu menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya, agar tidak terjadi kekeliruan dalam persoalan ini, berikut ini beberapa masalah yang terkait yang harus disikapi dengan proporsional :
1.  Taklid
Secara bahasa berarti menggantungkan kalung di leher. Sedangkan secara istilah berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa tahu dalilnya[42], tidak mengetahui kekuatan dalilnya[43] atau iltizamnya seorang mukallaf terhadap suatu  pendapat dalam ranah hukum syar’i yang mana pendapat itu sendiri bukan merupakan sebuah hujjah.[44]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah memberikan kriteria tentang jenis-jenis taklid yang diharamkan :
  1. Berpaling dan tidak menghiraukan dari apa yang Allah turunkan karena merasa cukup dengan apa yang telah dia ikuti dari ajaran nenek moyangnya.
  2. Taklidnya seseorang kepada orang yang tidak dia ketahui apakah orang tersebut layak diikuti atau tidak.
  3. Taklid kepada seseorang padahal telah jelas adanya dalil yang bertentangan dengan pendapat orang yang dia ikuti. [45]
Pada dasarnya memahami Islam adalah upaya yang harus dilakukan secara terus menerus oleh setiap muslim, sebagai bentuk semangat ajaran Islam yang menyerukan untuk beramal sesuai dalil yang shahih, mengetahui landasan ilmu dalam beribadah dan beramal tidak hanya sekedar ikut-ikutan tanpa disertai pemahaman, namun perbedaan tingkatan manusia dalam suatu  ilmu merupakan sunatullah yang ada di dunia ini, mereka yang tidak memiliki perangkat-perangkat berijtihad dan tidak mampu untuk mengetahui suatu hukum syar’i beserta dalilnya maka ia harus bertaklid kepada seorang mufti (mujtahid) yang ia percaya, meskipun terdapat mufti yang lebih pandai darinya.
Dan bagi mereka yang dapat mempelajari dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ia tidak boleh baginya mengikuti begitu saja suatu pendapat tanpa menyelidiki terlebih dahulu kekuatan pendapat – pendapat tersebut jika disandingkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.[46]
2.  Talfiq
Secara umum talfiq adalah mengamalkan dua pendapat madzhab atau lebih dalam suatu amalan yang memiliki rukun-rukun atau cabang-cabang  yang lain sehingga darinya terkesan amalan baru yang tidak dipraktekkan oleh para mutahid.
Misalnya dalam hal wudhu, seseorang mengikuti madzhab Syafi’i yang cukup mengusap sebagian kepala saat berwudhu, kemudian mengikuti madzhab Abu Hanifah dan Imam Malik yang berpendapat bahwa wudhu’ tidak batal karena bersentuhan dengan wanita tanpa syahwat.[47]

IX.   Sikap Terhadap Perbedaan Madzhab  dan Pendapat Ulama
1.    Sikap terhadap para imam
    Mereka adalah ulama pilihan dari kaum muslimin, namun mereka bukanlah orang  yang ma’sum[48] dari kesalahan. Setiap ijtihad mereka yang benar, maka mereka mendapat pahala ijtihad dan pahala dari kebenaran ijtihadnya. Adapun bila ijtihad mereka salah, mereka tetap mendapat pahala dari ijtihadnya dan mendapat udzur dari kesalahannya. Mereka mendapat pahala dalam setiap keadaan. Tidak ada bagi mereka celaan, aib, dan kekurangan karena kesalahan dalam ijtihadnya[49].
2.    Sikap terhadap masalah khilafiyah
     Perbedaaan pendapat (ikhtilaf) asalkan bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan metode pengambilan hukum yang benar maka itu adalah rahmat bagi umat, perbedaan yang ada merupakan sebuah kelapangan dan kelonggaran dari Allah bagi manusia, dan yang terpenting dari ikhtilaf tersebut tidak boleh melahirkan pertentangan dan pertikaian antara sesama muslim.

X.  Kesimpulan
             Tidak dipungkiri bahwa perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah (ijtihadiyah) adalah realita klasik yang sudah ada sejak generasi salaf, maka kita mesti memilih sikap yang benar sehubungan dengan adanya banyak perbedaan. Sehingga kita dapat terhindar dari taklid buta dan ta’asshub (fanatik) terhadap madzhab tertentu dan memilih pendapat yang lebih benar dan bijak.
  Telah disepakati bahwa Seorang mujtahid tidak disyariatkan bertaklid kepada mujtahid lainnya dan mengambil pendapat mujtahid lain yang berbeda serta meninggalkan pendapat sendiri. Menurut mayoritas ulama, ijtihad dibolehkan bagi orang yang mampu berijtihad dan taklid dibolehkan bagi orang yang tidak mampu berijtihad. orang yang belum mencapai tingkatan mujtahid harus mengikuti seorang imam agar tidak mengeluarkan pendapat yang ganjil dalam sebuah masalah. Dianjurkan untuk mengkaji fikih dengan imam tertentu dengan syarat tidak ta’asshub (fanatik buta), karena tuntutan zaman sekarang adalah memulai belajar melalui salah satu imam madzhab kemudian menelaahnya dan setelah itu meninggalkan pendapat yang jelas kesalahannya oleh dalil.  
    Adapun orang awam kewajiban baginya adalah bertanya kepada  orang yang berilmu, karena hakikat bermadzhab adalah bagi orang berilmu yang mereka mengikuti madzhab tertentu berdasarkan dengan ilmu, dan orang awam tidak mempunyai madzhab karena madzhabnya adalah madzhab orang yang memberi fatwa kepadanya. Wallahu a’lam bisshawab.



[1] Disampaikan dalam munazharah ilmiyyah  di Ma’had A’ly An-Nuur, pada hari Ahad, 13 Rabi’uts Tsani 1437 H / 24 Januari 2016 M.
[2] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya, (Riyadh, Dar Khalid bin Al-Waleed for Pub. & Dist, 2004), hlm. 25-26
[3]  Ibid, hlm. 11

[4] Muhammad bin Mukarram bin Mandzur al-Ifriqi al-Misri, LIsan al-Arab, (Beirut, Dar Shadir), vol. 1 cet. 1, hlm. 394

[5] Lihat Ibrahim Musthafa, dkk,  al-Mu’jam al-Wasith vol.  1 hlm. 316 (Versi Maktabah Syamilah)

[6] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 11

[7] Bisa dilihat dalam “ Kamus Besar Bahasa Indonesia”, oleh tim penyusun kamus besar bahasa Indonesia Depatemen Pendidikan dan Kesehatan, Penerbit Balai Pustaka edisi ketiga hlm. 726

[8] Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Madkhal ilaa asy-Syari’ah wa al-Fiqh al-Islami, (Oman, Dar an-Nafais, 2005 ), hlm. 205

[9] al-Mu’jam al-Wasith hlm. 317  (Versi Maktabah Syamilah)

[10] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 13

[11] Khalid bin Musa’id, At-Tamadzhub, (Riyadh, Dar al-Tadmuriyah, 2013), Vol. 1, hlm. 87
[12] Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Madkhal  ilaa asy-Syariah wa al- Fiqh al-Islami…hlm. 101
[13] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 15-16
[14] Manna’ Qaththan, Tarikh at-Tasyri al-Islami, (Beirut, Muassasatu ar-Risalah, 1997), hlm. 193
[15] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 20
[16] Dikatakan ahlu hadits karena aliaran ini sangat besar sekali perhatiannya terhadap hadits – hadits Rasulullah dimana keputusan –keputusan hukum selalu menyertakan hadits – hadits Rasulullah tidak mengherankan karena aliran ini berpusat di Madinah yang pada waktu itu lebih dikenal dengan istilah Madrasah Hijaz
[17] Karakteristik aliran ini adalah sedikit mengunakan periwatan hadits, sebagai kompensasinya mereka banyak menggunakan ra’yu (logika) dalam menetapkan hukum, hal ini sama sekali bukan berarti mereka mengesampingkan hadits Rasul sebagai landasan hukum dan mengutamakan pendapatnya, mengingat wilayah tempat tinggal mereka (Irak) jauh dari dari pusat periwayatan hadits waktu itu (Madinah), karena itu mereka banyak menggunakan analogi (qiyas) dan mencari sebab (Illat) dari sebuah masalah, lalu menjadikan sebab tersebut sebagai perbandingan bagi penetapan hukum dalam kasus yang berbeda dengan sebab yang sama.
[18] Ibid, hlm. 23-24
[19] Ibid, hlm. 25
[20] Ibid, 32
[21] Ibid.
[22] Ibid, 34-35
[23] Ibid, hlm. 29
[24] Wahbah az- Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,(Damaskus, Dar al-Fikr, 2009), Vol. 1, hlm. 77-78
[25] Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), vol. 2, hlm.  1165
[26] Ibid hlm. 1166
[27] Ibid hlm. 1167
[28] Lihat Muhammad Sulthan al-Ma’shumi al-Khujandi al-Makki, Hal al-muslim Mulzimun bittibai’ madzhabin mua’yyinin min al- Mazahahib al-Arba’ah, (Kuwait, Jami’ah Ihya at-Turats al-Islam, tt), hlm. 7

[29] pendapat ini disarikan dari kitab yang berjudul “ alla Madzhabiyah akhtharu bidatin tuhaddidu al-Syari’ah al-Islamiyah” yang ditulis oleh DR. Said Ramadhan al-Buti, sebenarnya kitab ini beliau tulis untuk membantah penyataan al-Khujandi dalam kitabnya  “ Hal al-Muslim mulzimun bittibai’ madzhabin mua’yanin min al-mazhahib al-arba’ah ? ”  yang menyatakan bahwa pendapat al-Khujandi tersebut amat menyesatkan.
[30] Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo, Mussasat al-Halabi, 1955), Vol. 5, hlm.198
[31] Khudhari Bek, Ushul al-Fiqh, (Mesir, Maktabah Tijariyyah al-Kubra, 1960), hlm. 382
[32] Mengambil sebuah pendapat, bahwa fulan berkata demikian, tanpa ilmu dan mengetahui dalil perkataannya.

[33] Soal Aqidah Jakim, Bahaya Anti Madzhab, Mohd Aizam Mas’ud, Cawangan Aqidah, Bahagian penyelidikan JAKIM, hlm. 2. makna ittiba adalah Mengambil pendapatnya seorang mujtahid dengan mengetahui dalilnya atau mengambil pendapat seseorang yang bukan mujtahid setelah mengetahui dalil.
[34] Ibid, hlm. 4
[35] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu…hal, 84
[36] Haji Jainal Sakiban al-Jauhari, Persoalan Madzhab, (Johor, Majlis Agama Islam Negeri Johor, 2010), hlm.  5
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 51

[40] Ibid hlm. 59
[41] Shalah Shawi,  Ats-Tsawabit wa al-Mutagayyirat fi Masiir al-‘Amal al-Islamy, (Amerika, Akademik Syari’ah Amerika, 1430 H), hlm. 74
[42] Wahbah az-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul Fikr, 1986), vol. 2, hlm. 1120, lihat juga Abu al-Khitab al-Kalwadhani, At-Tamhid fi Ushul al-Fiqh, (Jeddah: Dar al-Madani, 1985) vol. IV, hlm. 395, lihat juga Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jizani, Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, (Riyadh: Dar Ibnu al-Jauzi, 1996), hlm. 496
[43] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Muassasah Qurtubah), hlm. 410
[44] Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz asy-Syatsari, at-Taqlid wa Ahkamuhu, (Riyadh: Dar al-Wathn, 1416 H), hlm. 29
[45] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’ laamu al-Muawaqqi’iin, (Beirut, Daar al-Jail, tt), Vol. 4 hlm. 187
[46] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 70
[47]  Wahbah az-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamihlm. 95
[48] Yang disucikan dari berbuat salah
[49] Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jizani, Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, (Riyadh: Dar Ibnu al-Jauzi, 1996), hlm. 499

1 komentar:

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net